“Agama di satu pihak menjadi kekuatan bagi gerakan-gerakan kemanusian, keadilan dan perdamaian, namun di pihak lain semangat keagamaan dapat menyebabkan dan melegitimasi perpecahan bahkan kekerasan” (Abdurrahman)
Perbedaan dua pandangan itu merupakan implementasi dari praksis keagamaan yang terjadi di bumi Indonesia yang beragam ini. Yang sudah beberapa tahun terkungkung dalam kebingungan dalam mencari konsep keagamaan yang cocok dengan keragaman bangsa ini. Banyak kelompok yang menawarkan keagamaan alternatif yang di tujukan agar pandanagan yang mengatakan bahwa agama hanya mendatangkan kesengsaraan itu tidak terjadi lagi. Namun beberapa alternatif itu karena masih di hiasi oleh faham eksklusivisme dan egoisme, akhirnya bukan solusi kondusif yang menggelinding dimata bangsa yang multi etnis ini akan tetapi solusi licik yang dengan taming agama dan firman tuhannya mengabsahkan untuk melaksanakan konflik yang berbau SARA. Atau ada sebagian kelompok mengembangkan keagamaannya tanpa didasarkan pada dasar yang jelas. Sehingga perpecahan dan kerusuhan pun tak dapat di elakkan lagi.
Komflik yang berbau agama akhir-akhir ini merupakan bukti nyata bahwa pemahaman manusia terhadap agamanya masih menggunakan kacamata kuda yang hanya membenarkan proses keagamaannya sendiri dan menilai agama lain salah dan harus di agamakan sesuai dengan kepercayaannya.
Hal itulah yang terjadi di Negara kita yang paling kaya sedunia namun paling melarat juga sedunia. Sungguh sangat ironis sekali melihat kenyataan bangsa ini. Kaya tapi miskin, tanahnya paling subur dan kelautannya yang banyak menghasilkan jenis ikan namun masih mengimpor beras dan lain sebagainya. Sehingga bangsa ini sesuai dengan pepatah “ayam mati dilumbung padi”. Bukan tidak ada makanan dalam lumbung itu tapi ayamnya yang bodoh dan tidak mau menggunakan potensinya.
Kondisi seperti itu terjadi karena mansuia bangsa ini yang katanya beragama, bahkan sangat fanatik terhadap agamanya. Tetapi tidak menggunakan ajaran agamanya sesuai dengan koridor yang telah di tentukan oleh agamanya yang paling hakiki dan mengabaikan ajaran agamanya yang memiliki nilai kebenaran yang universal.
Mereka telah mempolitisir agamanya demi kepentingan diri dan kelompoknya dengan menafsirkan kitab-kitabnya hanya sebatas melawan wacana-wacana dari agama lainnya yang tujuannya tiada lain adalah menina bobokkan ajaran agama yang lainya. Sehingga bagi siapa yang keluar jadi pemenangnya dalam pewacanaan akan menuai keuntungan baik secara psikis dan bahkan untung secara biologis.
Secara psikis, mereka merasa puas karena bisa meyakinkan kepada orang lain bahwa agamanya benar dan agama orang lain salah sehingga bagi yang disalahkan biasanya enggan untuk beragama atau pindah agama. Setelah pindah agama walaupun secara terpaksa, baru keuntungan secara biologis dicapai. Misalnya, mereka bisa melakukan perkawinan karena sudah satu agama dan lain sebagainya. Padahal dalam islam sudah jelas tidak boleh memaksa dalam beragama.
Mereka sibuk dengan mengurus dan membela Tuhanya padahal Tuhan tidak perlu dibela dan Dia akan tetap eksis dalam keberadaan dan keagungan-Nya tanpa di bela manusia. Sehingga dengan kesibukan yang tidak jelas dan tidak bermanfaat itulah urusan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya untuk membangun kesejahteraan menjadi terbengkalai. Mereka telah menyalahgunakan mandat Tuhan sebagai wakil-Nya di muka bumi untuk menciptakan tatanan kehidupan yang harmonis, bukan malah mengacaukan. Oleh karena kenyataan itulah manusia Indonesia memandang agama dari dua sisi yakni menguntungkan dan menyengsarakan.
Bagi orang yang memahami bahwa agama bisa membawanya pada garis kesejahteraan hidup, paling tidak ada dua kelompok. Pertama, mereka yang bisa mengambil manfaat keagamaannya karena memang mengetahui apa yang harus di lakukan. Mereka tidak kebingungan dengan realitas social keagamaan yang ada. Mereka tidak mempermasalahkan proses keagamaan agama lainnya dan menerima kebenarannya sebagai kebenaran relitas kerena agama lain juga dibenarkan oleh penganutnya. Bahkan dari kelompok inilah muncul kelompok yang sangat ekstrim dengan menyamakan tujuan dari semua agama-agama, hanya saja jalan dan caranya yang berbeda-beda. Kelompok inilah yang keluar sebagai pengendali kekacauan bangsa dengan menerapkan nilai-nilai pluralisme. Mereka tidak sibuk dengan membela Tuhan.
Kedua, orang yang dengan mempolitisir wahyu tuhannya bisa mengais keuntungan yang sebesar-besarnya. Mereka menipu orang dengan pembenaran wahyu yang disalah tafsirkan. Sehingga apapun bentuk tindakannya karena salah dalam menafsirkan firman tuhannya seakan-akan benar dan diridhai oleh tuhan, meskipun perilakunya banyak menyengsarakan manusia tapi tetap dibenarkan karena kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat kitab sucinya. Sehingga tak jarang orang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan.
Mereka dalam menafsirkan wahyu hanya mengacu pada teks saja sedangkan hal yang terkandung di dalamnya dan akar sejarahnya terus di abaikan. Kelompok inilah yang sering menimbulkan kericuhan dan kerusuhan.
Mereka angkuh dengan kepercayaannya dengan menganggap bahwa agama yang paling asli, benar dan datang dari Tuhan hanyalah agamanya sendiri sehingga agama yang tidak berasal dari Tuhan dianggap tidak otentik dan sesat. Dalam bukunya Nur Khalik Ridwan yang berjudul Detik-Detik Pembongkaran Agama dalam pendahuluannya dituliskan bahwa Keangkuhan seperti itulah yang selalu mewarnai pemaknaan keagamaan mereka, sehingga kebenaran orang lain diukur dengan kebenaran mereka padahal orang lain juga mempunyai ukuran-ukuran tertentu untuk mengukur kebenaran. Mereka tidak sadar bahwa ukuran kebenarannya hanya merupakan hasil kreasi dan ijtihadnya yang apabila diterapkan pada orang lain dan atau ditempat lain belum tentu dapat dibenarkan juga. Karena proses pencarian kebenaran yang namanya manusia hanya menemukan kebenaran yang relatif.
Setelah kekacauan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara terus terjadi akibat para kelompok yang hanya mementingkan kelompoknya itu, karena sudah tidak tahan lagi atas perlakuan mereka yang sering menindas dan melecehkan kaum minoritas atas nama agama. sehingga menimbulkan kelompok baru yang memandang agama hanya membuatnya sengsara. Biasanya agama ini merupakan agama yang kecil dan merupakan agama bumi serta tidak diakui oleh negara sebelum KH. Abdurrahman Wahid (Gudur) jadi presiden yang hanya mengakui lima agama. Mereka mulai pesimis dan nyaris tak mau beragama.
Namun ketika Gusdur menjadi presiden para kaum minoritas mulai bisa menghirup udara segar dengan diturunkannya peraturan yang membolehkan praktik keagamaan yang sebelumnya dilarang dan mulai saat itulah wacana pluralisme agama ramai dibicarakan orang walaupun sebenarnya pluralisme itu telah lama masuk di Negara ini. Akan tetapi yang mulai gencar didiskusikan dan dibicarakan oleh banyak kalangan mulai munculnya tokoh pluralis Gusdur dan Nurcholis Madjid, utamanaya ketika Presiden keempat menggelindingkan aturan yang disesuaikan dengan dinamika kehidupan bangsa yang multi agama dan etnis ini.
Walaupun faham pluralisme ini banyak menimbulkan kecaman dari banyak pihak utamanya bagi penganut agama yang fundamentalis dengan alasan tidak boleh mencampuradukkan agama satu dengan lainnya karena hanya akan mengaburkan dari ajaran agama itu sendiri. Bahkan Pada tanggal 29 Juli 2005 Majalis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang haramnya Paham Sipilis (sekularisme, Pluralisme Agama, Liberalisme).
Saya tidak mengajak pembaca untuk membenarkan faham plural tapi hanya ingin mendatangkan bukti bagi pikiran anda bahwa dengan pemahaman inilah bangsa ini masih tetap utuh dalam kesatuan NKRI dan kelangsungan keberagamaan kaum minoritas menjadi tertolong. Yang menjadi persoalan sekarang adalah lebih bagus mana antara kelompok yang selalu membuat keonaran dan kerusuhan atas nama agama dan kelompok yang menerima agama lain sebagai agama yang benar juga baik secara relitas dan atau secara teologis. Marilah kita buka mata hati dan membayangkan nasib para kaum minoritas jika Gusdur tidak mempunyai faham plural dan tetap melarang atas praktiknya agama-agama bumi yang sebelumnya di anggap sesat dan kafir oleh sebagian penganut agama-agama langit (Islam, Kresten dan Yahudi).
Pluralisme identik dengan inklusifitas keberagamaan, Karena nilai plural bisa didapatkan dengan cara membuka diri untuk membenarkan agama lain. Baik membenarkan secara realitas social atau secara teologis. Tergantung pada batasan pendefinisian tentang pluralisme.
Cak Nurcholis Madjid misalanya, dalam bukunya Sukidi Mulyadi murid Cak Nur yang berjudul “Teologi Inklusif Cak Nur” menggunakan istilah teologi inklusif untuk menyebut pemikiran Cak Nur. Tapi jika dicermati dalam buku itu, ternyata Cak Nur pengembang pluralisme agama. Teologi inklusif merupakan alternatif dari teologi eksklusif yang menganggap bahwa kebenaran dan keselamatan hanya terdapat pada suatu agama, ini merupakan monopoli terhadap agama yang lainnya. Oleh karena itulah teologi inklusif menantang dan menyalahkan klaim-klaim kebenaran terhadap agamanya dan mengatakan bahwa itu merupakan teologi yang salah.
Menurut Cak Nur agama Islam merupakan agama yang inklusif dan merentangkan penafsirannya kearah yang lebih pluralis. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Seperti istilah “banyak jalan menuju Roma”. Roma ibarat Tuhan sedangkan jalan-jalan menujunya merupakan jalan dari semua agama yang menuju tuhan yang sama. Kita tidak bisa menyalahkan orang yang mempunyai tujuan yang sama dengan kita tapi cara dan jalannya berbeda, karena siapa tahu orang yang kita klaim salah ternya benar ataupun sebaliknya.
Dalam filsafat perenial agama dibagi pada level isoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain pada level eksoterik sedangkan pada level isoterik relatif sama. Berbeda dalam melaksanakan ritual keagamaannya namun tujuannya sama untuk menyerahkan dirinya kepada Tuhan yang sama. Schoun yang mengutip pandangan Nasr mengatakan bahwa setiap agama memiliki satu bentuk dan satu substansi. Dan substansi mempunyai hak yang tidak terbatas, karena lahir dari yang mutlak, sedangkan bentuk adalah relatif sehingga hak-haknya terbatas. Maka yang harus di perhatikan adalah masalah substansi dari berbagai agama yang tidak terbatas itu. Bukan bentuk agamanya yang sering ditafsirkan dengan salah oleh penganutnya.
Sama halnya dengan pemikiran Gusdur dalam memandang agama dan kemanusian. Orang yang dikatakan beragama yang baik kalau menjunjung tinggi derajad kemanusiaan. Dan kemanusiaan yang baik juga didasarkan pada keyakinan agama yang benar. Agama dan kemanusiaan seperi dua sisi mata uang yang berbeda tapi tidak bisa dipisahkan. Tidak boleh demi agama lantas melecehkan kemanusiaan dan demi kemanusiaan mengabaikan agama.
Atas dasar itulah Gusdur dalam keberagamaannya melepas formalitas agama tapi tetap pada keberagamaan yang substantif. Beliau sering keluar-masuk Gereja, Vihara dan sinagog demi membangung relasi kemanusiaan. Pluralisme Gus Dur adalah pluralisme yang melihat negeri ini sebagai sebuah rumah. Rumah dengan banyak kamar yang setiap kamar dihuni oleh sebuah agama. Demi keutuhan rumah itu, masing-masing penghuni kamar haruslah saling menghormati dan menghargai tanpa satu pihak yang merasa berhak atas kebenaran kepemilikan rumah tersebut.
Dari itulah ketika jiwa kita tidak dilapisi oleh fanatisme-sempit dan membukakan hatinya untuk menerima kebenaran keberagamaan orang lain baik secara realitas social ataupun secara teologis. Maka tatanan social yang harmonis akan kita raih. Karena hanya pada kondisi seperti itulah urusan kita dengan penganut agama lain bukan lagi urusan saling klaim kebenaran tapi urusan bagaimana membangun bangsa kedepan yang makmur dan sejahtera.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Afiliados
Label 3
Footer Widget 1
Footer Widget 3
Trending Template
Pages
Popular Template
Recent Post
Blogger Themes
Label 6
Comments
Label 5
Label 4
Label 1
hh
Label 2
Laman
Footer Widget 2
TERJEMAH
Search
Blog Archive
-
▼
2012
(11)
-
▼
Juni
(10)
- Negara Islam dan Demokrasi: Berbeda Tapi Sama
- Alangkah Lucunya Pendidikan di Negeri Ini
- Menanam Pluralisme Agama Menuai Kesejahteraan
- Mewaspadai Money Politic
- Televisi dan Masa Depan Anak
- Kemerdekaan Seterusnya
- Kebijakan yang Tak Pernah Bijak; Sekolah Bertaraf ...
- Jalan Muhammad Jadi Nabi
- Haji dan Keajaiban Tuhan
- Menyikapi Peperangan Identitas
-
▼
Juni
(10)
Mengenai Saya
- Dapur Ilmiah
- Sumenep, Jawa Timur, Indonesia
- Dapur Ilmiah (DI) merupakan blog yang secara konsisten menayangkan berbagai penelitian ilmiah. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Salam DI.
Arsip Blog
-
▼
2012
(11)
-
▼
Juni
(10)
- Negara Islam dan Demokrasi: Berbeda Tapi Sama
- Alangkah Lucunya Pendidikan di Negeri Ini
- Menanam Pluralisme Agama Menuai Kesejahteraan
- Mewaspadai Money Politic
- Televisi dan Masa Depan Anak
- Kemerdekaan Seterusnya
- Kebijakan yang Tak Pernah Bijak; Sekolah Bertaraf ...
- Jalan Muhammad Jadi Nabi
- Haji dan Keajaiban Tuhan
- Menyikapi Peperangan Identitas
-
▼
Juni
(10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar