Sabtu, 16 Juni 2012

Kebijakan yang Tak Pernah Bijak; Sekolah Bertaraf Internasional VS Pendidikan Karakter

Pendidikan merupakan salah satu penentu bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan. Karena dengan pendidikanlah manusia bisa mengetahui apa-apa yang harus dilakukan dan apa-apa saja yang harus ditinggalkan. Oleh karena itulah desain pendidikan harus terus diupayakan kearah yang lebih baik, yaitu desain pendidikan yang mampu menjawab tantangan zaman tanpa harus tergerus oleh kemunafikan zaman. Tentunya pendidikan disini tidak hanya terpaku pada pendidikan formal tetapi juga berlaku pada pendidikan non formal dan informal. Sebagaimana tripusat pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara; keluarga, masyarakat dan sekolah adalah pusat pendidikan bagi umat manusia baik secara langsung maupun tidak. Tiga pusat pendidikan itulah yang telah terbukti bisa mencetak perkembangan manusia baik mencetak kearah yang lebih baik ataupun kearah kehancuran moral. Tetapi karena yang menjadi sorotan publik akhir-akhir ini adalah pendidikan formal, maka tulisan ini akan difokuskan pada kebijakan-kebijakan pendidikan formal yang terus dibenahi guna menjawab tantangan global yang dirasa menggelitik hati penulis. Banyak orang mengakatan, bahkan ini memang kenyataan di Indonesia tercinta ini, bahwa setiap ada pergantian menteri pendidikan, pasti banyak pula perubahan kebijakan. Tentunya kita harus berfikir positif akan perubahan itu. Barang kali, semua perubahan itu memang diniatkan baik untuk bangsa ini. Dan saya yakin, bahwa hal itu memang dibuat agar bangsa Indonesia ini bisa berdaya saing global hingga akhirnya manusia Indonesia bisa diperhitungkan oleh dunia. Hanya saja dari setumpuk kebijakan itu banyak kebijakan yang tumpang tindih antara kebijakan satu dengan lainnya bahkan tak jarang ada yang melanggar undang-undang Negara kita. Pengembangan pendidikan menuju pendidikan bertaraf internasional (RSBI dan SBI) yang sudah diartikan secara sempit dengan hanya sebatas penggunaan bahasa inggris dipengantar pelajarannya. Sehingga yang dikatakan sekolah bertaraf internasional adalah sekolah yang bahasa pengantar pelajarannya menggunakan bahasa inggris. Sudah barang tentu itu semua melanggar pasal 33 undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan pasal 29 undang-undang nomor 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa dan lambang Negara serta lagu kebangsaan. Ini salah satu bukti dari sekian kebijakan yang menabrak kebijakan lainnya. Sebenarnya penggunaan bahasa asing yang dijadikan pengantar pendidikan juga diatur dalam undang-undang pendidikan yaitu pasal 33 ayat 3 undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang berbunyi “Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.” Tentunya tujuan penggunaan bahasa asing disini adalah hanya sekedar meningkatkan kemampuan bahasa asing siswanya dan tidak sampai mereduksi bahasa Indonesia yang merupakan salah satu pembentuk karakter bangsa Indonesia. Akan tetapi yang terjadi pada dunia pendidikan kita saat ini khususnya di sekolah-sekolah yang berlabel internasional. Mereka para siswa dicetak agar melupakan bahasa ibunya karena kadung terkonstruk dibenaknya bahwa bahasa Indonesia adalah lambang ketidakmajuan. Inilah yang pada akhirnya bahasa asing akan mereduksi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dengan keadaan yang seperti itu, saya tidak yakin bahwa bahasa Indonesia akan terus dipakai sebagai bahasa persatuan bangsa ini. Sudah banyak bukti yang bisa membenarkan terawangan pesimis saya itu. Salah satunya adalah hasil ujian nasional untuk bahasa Indonesia yang sangat mengernyitkan dahi kita beberapa tahun terakhir ini. Banyak siswa Indonesia yang tidak lulus di bahasa Indonesianya padahal bahasa itu merupakan bahasa persatuan bangsa yang seharusnya sudah dapat dipahami sampai keakar-akarnya. Mereka yang tidak lulus ujian nasional di pelajaran Indonesia semua sekolahnya masih menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar pelajarannya. Tentunya mereka masih mempunyai kebanggaan walaupun sedikit terhadap bahasa Indonesia. Dengan demikian yang menjadi pertanyaan besar adalah Mereka saja yang mempunyai kebanggaan tidak lulus bagaimana dengan orang yang tidak mempunyai kebanggaan sama sekali terhadap bahasa persatuan kita? Sudah menjadi kepercayaan pada diri saya bahwa untuk mengerti dan memahami segala sesuatu, kita harus cinta terlebih dahulu dan perasaan cinta itu akan muncul setelah kita bangga terlebih dahulu. Pemahaman sempit terhadap sekolah bertaraf internasional seperti di atas telah dan akan membuat siswanya kehilangan rasa bangga terhadap bahasa Indonesia. Para pemegang kebijakan tidak pernah berfikir bahwa sesungguhnya sekolah bertaraf internasional saat ini sama halnya dengan sekolah asing yang hanya menumpang tempat di Indonesia. Kalau menurut saya, sekolah bertaraf internasional adalah sekolah yang daya saingnya internasional bukan hanya bahasanya yang menggunakan bahasa internasional. Dalam hal ini adalah sekolah lokal tapi berdaya saing interlokal (baca: internasional). Apakah kita tidak mengenal Jepang? Saya yakin kita semua mengenalnya. Disana sekolahnya dapat dikatakan bisa bersaing secara internasional padahal bahasa pengantarnya adalah bahasa ibunya yakni Jepang. Dan apakah kita tidak bisa berkaca pada Malaysia yang telah gagal menerapkan sekolah bertaraf internasionalnya? Kalau hanya ingin menguasai bahasa asing, banyak sudah orang bisa menguasi bahasa asing walaupun mereka ketika sekolah, bahasa pengantarnya tidak menggunakan bahasa asing. Sampai kapan kita hanya terpaku pada kondisi pendidikan yang hanya mengumbar janji ini? Sangat ironis sekali melihat kebijakan demi kebijakan yang diluncurkan di negeri ini khususnya di dunia pendidikan karena banyak kebijakan yang saling bertentangan. Pengembangan sekolah menjadi sekolah bertaraf internasional yang saat ini telah diartikan sempit yang identik dengan bahasa asing telah berseberangan dengan isu penerapan pendidikan karakter. Sudah disebutkan diatas bahwa salah satu pembentuk karakter bangsa adalah bahasa. Oleh karena itu, kebijakan yang dilansir oleh pemegang kuasa pendidikan di negeri ini sungguh tak pernah bijak karena sering berbenturan dengan kententuan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Afiliados

Label 3

Footer Widget 1

Footer Widget 3

Trending Template

Pages

Popular Template

Recent Post

Blogger Themes

Label 6

Comments

Label 5

Label 4

Label 1

hh

Label 2

Laman

Advertisement (468 x 60px )

Footer Widget 2

TERJEMAH

Search

Mengenai Saya

Foto saya
Sumenep, Jawa Timur, Indonesia
Dapur Ilmiah (DI) merupakan blog yang secara konsisten menayangkan berbagai penelitian ilmiah. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Salam DI.