“Lho nyuru gue
ngejelasin pentingnya pendidikan, sedangkan gue sendiri tidak yakin pendidikan
itu penting”
“Waktu gue kuliah,
gue pikir pendidikan itu penting, tapi setelah gue keluar kuliah baru ngerti
ternyata pendidikan itu tidak penting”
Begitulah cuplikan menarik dari
film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”. Cuplikan itu diambil dari pemeran Samsul yang
mempunyai gelar sarjana pendidikan. Dia baru merasakan bahwa pendidikan itu
tidak penting dan tidak bermanfaat sama sekali untuk dia bahkan juga untuk
orang lain setelah lulus dari kuliahnya. Padahal dulunya, dia mendewa-dewakan yang namanya pendidikan.
Mungkin, ia sudah termakan oleh pemahan kebanyakan orang bahwa dengan
pendidikan manusia bisa berguna dan akan mendapatkan penghidupan (pekerjaan)
yang layak. Makanya ia susah payah melanjutkan keperguruan tinggi, namun akhirnya
penyesalan yang ia dapat.
Cuplikan itu merupakan bentuk
kekecewaan Samsul pada negeri ini yang sama sekali tidak menghargai kemampuan
rakyat kecil. Bagi Samsul, hal itu patut diucapkan karena dia setelah lulus
kuliah lalu melamar pekerjaan, eh ternyata bukan kemampuannya yang ditanyatakan
tetapi uang yang pertama kali dibicarakan sebagai pelicin bagi kelolosannya
masuk kerja. Bayangkan hal demikian itu terjadi pada diri kita, maka saya yakin
kita akan mengata-ngatai pendidikan sebagai sebuah proses yang melebarkan
jurang ketidakadilan dan sebagai mata rantai dari proses pemiskinan sistemik.
Kalau demikian, memang benar
bahwa pendidikan tidak penting tapi yang penting adalah uang karena bagi
kebanyakan orang, uang adalah segala-segalanya. Sehingga dengan demikian, orang
miskin sepintar siapapun dilarang memperoleh pekerjaan yang layak. Rekrutmen
CPNS di berbagai daerah tak jarang mendapat kritik keras dari masyarakat karena
banyaknya kejanggalan yang terjadi, mulai dari pembocoran soal hingga sanak
keluarga dan teman dekatnya yang diloloskan.
Tokoh Samsul merupukan
representasi dari sejuta makhluk produk sekolahan yang tidak mempunyai jaringan
sama sekali yang ada di birokrasi negeri ini. Sudah menjadi rahasia umum bagi
bangsa ini, bahwa untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan
kemampuannya kalau tidak mempunyai jaringan atau keluarga yang bisa menolong
dari birokrasi itu mustakhil bisa mendapat pekerjaan yang sesuai keahliannya,
atau sepintar siapapun orang di negeri ini kalau tidak mempunyai uang pelicin
ketika melamar kerja mustakhil bisa lolos dan mendaptkan pekerjaan yang layak.
Tak ubahnya Samsul, S.Pd. Jaja
Mihardja yang memerankan sebagai Haji Sarbini juga menentang akan pentingnya
pendidikan. Berkali-kali ia mengatakan kepada Dedi Mizwar bahwa pendidikan itu
tidak penting. Bahkan karena kekesalannya Kang Jaja bagitu banyak orang
menyebutnya mengatakan kepada Mizwar “pendidikan itu penting kalau ada
koneksi, kalau gak, percuma”.
Cuplikan kekecewaan yang sering
diucapkan oleh masyarakat Indonesia terutama bagi mereka yang pernah merasakan
kekecewaan yang diakibatkan masalah jaringan dan uang pelican dalam masuk
kerja, sebenarnya kurang tepat diucapkan bagi wajah pendidikan dan wajah
birokrasi negera ini, karena sudah banyak produk pendidikan (sekolah) yang mampu
memeberi warna bagi kehidupan berbangsa ini. Pakaian yang kita pakai
sehari-hari merupakan contoh terkecil bahwa pendidikan itu penting. Atau kata
Darmaningtyas dalam sebuah bukunya menyebutkan bahwa dengan pendidikan manusia
tidak mudah ditipu.
Tetapi kalau dilihat lebih dalam
lagi pernyataan itu tampaknya ada benarnya, karena tak jarang kita temui
manusia produk pendidikan (sekolah) yang masih melakukan tindakan yang tidak
diperbolehkan oleh hukum Negara dan agama. Hal itu sungguh menyimpang dari
garis tujuan pendidikan yang mengharapkan bagi insan pendidikan, semakin tinggi
ilmunya diharapkan semakin mempunyai moral yang tinggi pula. Dalam perkataan
Paulo Friere semakin tinggi ilmunya semakin manusiawi orang itu.
Ambil contoh korupsi. Para
koruptor semuanya jebolan pendidikan yang notabene pendidikan lanjut (S1
keatas). Secara intelektual mereka pinter bahkan tak jarang tergolong pada
level genius, tetapi secara moral, mereka lebih kejam dari pada binatang
buas yang setiap saat menikam dan memangsa makhluk sebangsanya. Itu semua tidak
bisa dilepaskan dari proses pendidikan dinegeri ini yang tidak sukses.
Seharusnya dengan pendidikan manusia lebih manusiawi bukan malah sebaliknya.
Tepatnya kita mengatakan pendidikan Indonesia ini telah kehilangan ruhnya
sehingga tidak bisa membuat orang lebih bermartabat dan berakhlak.
Film yang berdurasi 1 jam 43
menit ini merupakan bentuk kritikan social bagi negeri yang memelihara makhluk
yang bertopeng manusia (pelaku KKN) ini. Bangsa ini bobrok karena sudah
bertahun-tahun para pelaku KKN dibiarkan hidup bahkan tak jarang dari mereka
masih diberi fasilitas baik oleh negera bahkan mereka yang telah menjalani
hukuman masih diberi remisi atau ampunan berupa pengurangan hari tahanan,
bahkan dari mereka banyak yang dinyatakan bebas dari penjara. Padahal
seharusnya mereka tidak diberi ampuanan karena mereka tak ubahnya tukang jagal
yang membunuh rakyat pelan-pelan. Sungguh ironis sekali ketika berbicara
keadilan di negeri ini, hukum negera hanya tajam pada rakyat kecil yang tidak
berdaya sedangkan bagi rakyat besar (penguasa) jadi tumpul.
Beberapa waktu lalu Manisih
mencuri buah randu seharga sebesar Rp.12.000 dihukum 30 hari dan Nurdin Halid,
Ketua Koperasi Distribusi Indonesia divonis 2 tahun (730 hari) penjara dengan
nilai korupsi Rp.169.7 miliar. Curian Manisih sama artinya dengan mencuri
Rp.400 dikenai hukuman satu hari sedangkan Nurdin Halid mencuri sebesar Rp.232
juta dan dihukum satu hari juga (kompas
26-08-2010). Perbandingan itu memang tidak ada dalam materi hukum tetapi
dengan adanya perbandingan itu diharapkan bisa membuat mata kita melek dan maju
menegakkan keadilan. Karena dalam kitab undang-undang negera ini, semua orang
dipandang sama tidak ada yang namanya anak Negara dan atau anak buruh dan lain
sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar