Senin, 25 Juni 2012

Negara Islam dan Demokrasi: Berbeda Tapi Sama



“Bukanlah bentuk negaranya yang menyebabkan pemerintahan itu menjadi baik atau menjadi buruk, tetapi system yang oleh Negara tersebut serta kepemimpinan yang adil yang memungkinkan kondisi yang baik itu menjadi tercipta ” (Gus Dur)

Perdebatan tentang kenegaran dan pemerintahan yang sering terjadi didunia ini, khususnya di Indonesia adalah terkait pelaksanaan pemerintahan dan bentuk pemerintahan, yakni sistem demokrasi dan penerapan syariat islam. Hal itu sangat wajar sekali karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang berketuhanan dan mempunyai penduduk muslim terbesar di dunia. Tak heran kalau ada isu-isu tentang penerapan syari’ah dan khilafaf sebagai bentuk negaranya.
Tentu saja tidak semua penduduk muslim Indonesia yang berkeinginan untuk menerapkan system syari’ah yang mengacu pada AlQur’an dan Al-Hadits sebagai bentuk undang-undang negaranya. Karena islam Indonesia terdiri dari berbagai aliran, mulai dari yang beraliran kanan hingga ke aliran kiri, dari yang paling keras hingga yang paling lembut dan lain sebagainya.
Banyak orang yang bingung terkait isu penerapan syari’at islam dan penerapan demokrasi di Negara kita ini, karena perdebatan tentang hubungan islam dan demokrasi belum pernah di perdebatkan dan didudukkan secara intelektual. Pewacanaan tentang hubungan itu hanya muncul secara sporadis dan tidak utuh (Mun’im A Sirri. 2002). sehingga penyikapan simplikatif di sebagian kalangan umat muslim Indonesia terjadi dan akhirnya berkembang pada penyikapan pro-kontra tentang formalisasi syari’at islam.
Mereka yang terus menerus mengupayakan untuk formalisasi syariat islam, sebernarnya tidak mengetahui terhadap  nilai-nilai yang di kandung dalam demokrasi. Dalam artian, mereka menolak secara sepihak terhadap demokrasi tanpa mengkaji lebih dalam. Karena mereka terlalu benci kepada orang-orang barat dan dalam buku perpolitikan islam sendiri juga tidak ada yang namanya demokrasi, akan tetapi walaupun demikian bukan berarti nilai-nilai kedemokrasian tidak ada dalam Al-Quur’an.
Perdebatan itu sering hanya mempermasalahkan label atau nama dari bentuk Negara, sedangkan hal-hal yang memerlukan penanganan secara cepat, seperti kemiskinan, pengangguran dan lain sebagainya, itu diabaikan. Padahal esensi diadakannya pemimpin dan Negara, salah satunya adalah memberikan jalan kesejahteraan bagi warganya. Maka patutlah kita merenungkan perkatan Gus Dur di atas yang mengingkan terjadinya situasi yang baik dan sejahtera dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Sebenarnya kalau kita jeli dan tidak mengartikan dan menafsirkan Al-Qur’an secara tekstual, maka kita akan menemui  bahwa tidak ada seruan secara tegas terkait penerapan Negara Khilafah. Bahkan kalau kita lebih masuk pada esensi dari Negara khilafah itu, kita akan menemui yang namanya sebuah tatanan kehidupan yang sangat harmonis dan hal itu juga sebagai prinsip dari demokrasi. Makanya Prof. A’la mengatakan bahwa sebenarnya khilafah itu adalah demokrasi itu sendiri. Tidak hanya itu, dari saking agungnya nilai-nilai demokrasi, Emha Ainun Nadjib dalam bukunya yang berjudul Demokrasi La Roiba Fih mengatakan “Demokrasi itu harga mati, demokrasi itu kebenaran sejati dan demokrasi itu prinsip mutlak, pedoman perikehidupan yang bersifat absolut, tidak boleh ditolak, tidak boleh dipertanyakan, bahkan sediktpun tidak boleh diragukan”.
Mereka yang tidak mau dengan demokrasi sebenarnya hatinya tertutup oleh kebencian yang sangat dalam terhadap barat. Sehingga apapun bentuk dan namanya yang datang dari barat dianggap salah dan tidak sesuai dengan islam. Mereka terlalu sempit menyimpulkan hal demikian. Mereka lupa akan keluasan hukum tuhan dan tidak sesempit seperti apa yang mereka pikirkan. Maka dari itulah dianggap perlu bagi saya untuk menghadirkan bentuk persamaan atau singkronisasi islam dan demokrasi.
Islam dan Demokrasi
Dalam konsep khilafah tidak ada yang bisa membuat hukum secara mutlak kebenarannya kecuali Tuhan pencipta alam. Manusia dengan akalnya, dalam merumuskan segala sesuatu hanya akan menemui kebenaran yang relatif. Makanya, bagi para golongan yang menggempar-gemporkan akan dilaksanakannya khilafah islamiah sebagai tatanan kebangsaan dan kenegaraan sangat menolak konsep demokrasi dengan alasan, Demokrasi hanya merupakan hasil cipta, rasa dan karya manusia, yang tentunya hal itu tidak bisa diterapkan didunia karena hanya temuan kebenaran yang relatif. Tidak ada yang berhak membuat aturan selain Tuhan. Demokrasi yang mengagung-agungkan kedaulatan rakyat sangat ditentang oleh kelompok yang ingin mendirikan Negara khilafah, karena sesungguhnya kedaulatan bukan ada ditangan rakyat ataupun manusia, akan tetapi ada di tangan Tuhan penguasa jagad raya.
Adapun prinsip-prinsip khilafah sebagaimana telah di dijelaskan oleh Adeng Muchtar Ghazali dalam civic educationnya adalah: Tauhid (mengesakan Tuhan), Al-Adalah (keadilan) dan Syuro (musyawaroh). Inilah yang menjadi prinsip utama dalam penegakan syari’ah. Dengan demikian mau tidak mau ketika kita memperbincangkan yang namanya keadilan dan musyawaroh maka disinilah sebenarnya pengangkatan terhadap harkat dan martabat manusia. Tak heran kalau ada adigium yang mengatakan “suara rakyat adalah suara Tuhan”.
Demokrasi sebagaiman dijelaskan oleh Abraham Lincoln: government of the people, by the people and for the people, merupakan sebuah tatanan pemerintahan yang mengedepankan hak-hak rakyat karena sesungguhnya rakyat mempunyai hak istimewa yang harus di angkat kepermukaan. Dalam demokrasi tidak ada perbedaan rakyat dihadapan hukum, semua manusia sama, baik pejabat pemerintah ataupun petani kalau bersalah harus dihukum sesuai ketentuan yang telah ditetapkan secara bersama-sama dalam musyawarah.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyampaikan nilai pokok demokrasi yaitu: kebebasan, persamaan, dan musyawarah atau permusyawaratan. Sedangkan Syekh Ali Abduuraziq mengatakan bahwa inti dari demokrasi adalah kebebasan, keadilan dan Syura. Musyawarah inilah yang menjadi titik tumpu dalam melaksanakan demokrasi, karena dengan itulah semua kalangan bisa menyampaikan segala hak dan aspirasinya.
Begitu agungnya demokrasi yang mengedepankan keadilan, persamaan dan asas musyawarah didalam menyelasaikan semua urusan yang menyangkut rakyat. Tidak boleh ada interfensi dari pihak manapun yang bisa mempemgaruhi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Adakah gerangan nilai-nilai demokasi yang tidak sesuai dengan islam? Tentu saja tidak ada. Dalam Islam, Allah menjelaskan bahwa tidak ada bedanya manusia satu dengan lainnya, yang membedakan hanyalah kualitas keimanan dan ketakwaannya.


Alangkah Lucunya Pendidikan di Negeri Ini

“Lho nyuru gue ngejelasin pentingnya pendidikan, sedangkan gue sendiri tidak yakin pendidikan itu penting”
“Waktu gue kuliah, gue pikir pendidikan itu penting, tapi setelah gue keluar kuliah baru ngerti ternyata pendidikan itu tidak penting”

Begitulah cuplikan menarik dari film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”. Cuplikan itu diambil dari pemeran Samsul yang mempunyai gelar sarjana pendidikan. Dia baru merasakan bahwa pendidikan itu tidak penting dan tidak bermanfaat sama sekali untuk dia bahkan juga untuk orang lain setelah lulus dari kuliahnya. Padahal  dulunya, dia mendewa-dewakan yang namanya pendidikan. Mungkin, ia sudah termakan oleh pemahan kebanyakan orang bahwa dengan pendidikan manusia bisa berguna dan akan mendapatkan penghidupan (pekerjaan) yang layak. Makanya ia susah payah melanjutkan keperguruan tinggi, namun akhirnya penyesalan yang ia dapat.
Cuplikan itu merupakan bentuk kekecewaan Samsul pada negeri ini yang sama sekali tidak menghargai kemampuan rakyat kecil. Bagi Samsul, hal itu patut diucapkan karena dia setelah lulus kuliah lalu melamar pekerjaan, eh ternyata bukan kemampuannya yang ditanyatakan tetapi uang yang pertama kali dibicarakan sebagai pelicin bagi kelolosannya masuk kerja. Bayangkan hal demikian itu terjadi pada diri kita, maka saya yakin kita akan mengata-ngatai pendidikan sebagai sebuah proses yang melebarkan jurang ketidakadilan dan sebagai mata rantai dari proses pemiskinan sistemik.  
Kalau demikian, memang benar bahwa pendidikan tidak penting tapi yang penting adalah uang karena bagi kebanyakan orang, uang adalah segala-segalanya. Sehingga dengan demikian, orang miskin sepintar siapapun dilarang memperoleh pekerjaan yang layak. Rekrutmen CPNS di berbagai daerah tak jarang mendapat kritik keras dari masyarakat karena banyaknya kejanggalan yang terjadi, mulai dari pembocoran soal hingga sanak keluarga dan teman dekatnya yang diloloskan.
Tokoh Samsul merupukan representasi dari sejuta makhluk produk sekolahan yang tidak mempunyai jaringan sama sekali yang ada di birokrasi negeri ini. Sudah menjadi rahasia umum bagi bangsa ini, bahwa untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan kemampuannya kalau tidak mempunyai jaringan atau keluarga yang bisa menolong dari birokrasi itu mustakhil bisa mendapat pekerjaan yang sesuai keahliannya, atau sepintar siapapun orang di negeri ini kalau tidak mempunyai uang pelicin ketika melamar kerja mustakhil bisa lolos dan mendaptkan pekerjaan yang layak.  
Tak ubahnya Samsul, S.Pd. Jaja Mihardja yang memerankan sebagai Haji Sarbini juga menentang akan pentingnya pendidikan. Berkali-kali ia mengatakan kepada Dedi Mizwar bahwa pendidikan itu tidak penting. Bahkan karena kekesalannya Kang Jaja bagitu banyak orang menyebutnya mengatakan kepada Mizwar “pendidikan itu penting kalau ada koneksi, kalau gak, percuma”.
Cuplikan kekecewaan yang sering diucapkan oleh masyarakat Indonesia terutama bagi mereka yang pernah merasakan kekecewaan yang diakibatkan masalah jaringan dan uang pelican dalam masuk kerja, sebenarnya kurang tepat diucapkan bagi wajah pendidikan dan wajah birokrasi negera ini, karena sudah banyak produk pendidikan (sekolah) yang mampu memeberi warna bagi kehidupan berbangsa ini. Pakaian yang kita pakai sehari-hari merupakan contoh terkecil bahwa pendidikan itu penting. Atau kata Darmaningtyas dalam sebuah bukunya menyebutkan bahwa dengan pendidikan manusia tidak mudah ditipu.
Tetapi kalau dilihat lebih dalam lagi pernyataan itu tampaknya ada benarnya, karena tak jarang kita temui manusia produk pendidikan (sekolah) yang masih melakukan tindakan yang tidak diperbolehkan oleh hukum Negara dan agama. Hal itu sungguh menyimpang dari garis tujuan pendidikan yang mengharapkan bagi insan pendidikan, semakin tinggi ilmunya diharapkan semakin mempunyai moral yang tinggi pula. Dalam perkataan Paulo Friere semakin tinggi ilmunya semakin manusiawi orang itu.
Ambil contoh korupsi. Para koruptor semuanya jebolan pendidikan yang notabene pendidikan lanjut (S1 keatas). Secara intelektual mereka pinter bahkan tak jarang tergolong pada level genius, tetapi secara moral, mereka lebih kejam dari pada binatang buas yang setiap saat menikam dan memangsa makhluk sebangsanya. Itu semua tidak bisa dilepaskan dari proses pendidikan dinegeri ini yang tidak sukses. Seharusnya dengan pendidikan manusia lebih manusiawi bukan malah sebaliknya. Tepatnya kita mengatakan pendidikan Indonesia ini telah kehilangan ruhnya sehingga tidak bisa membuat orang lebih bermartabat dan berakhlak.
Film yang berdurasi 1 jam 43 menit ini merupakan bentuk kritikan social bagi negeri yang memelihara makhluk yang bertopeng manusia (pelaku KKN) ini. Bangsa ini bobrok karena sudah bertahun-tahun para pelaku KKN dibiarkan hidup bahkan tak jarang dari mereka masih diberi fasilitas baik oleh negera bahkan mereka yang telah menjalani hukuman masih diberi remisi atau ampunan berupa pengurangan hari tahanan, bahkan dari mereka banyak yang dinyatakan bebas dari penjara. Padahal seharusnya mereka tidak diberi ampuanan karena mereka tak ubahnya tukang jagal yang membunuh rakyat pelan-pelan. Sungguh ironis sekali ketika berbicara keadilan di negeri ini, hukum negera hanya tajam pada rakyat kecil yang tidak berdaya sedangkan bagi rakyat besar (penguasa) jadi tumpul.
Beberapa waktu lalu Manisih mencuri buah randu seharga sebesar Rp.12.000 dihukum 30 hari dan Nurdin Halid, Ketua Koperasi Distribusi Indonesia divonis 2 tahun (730 hari) penjara dengan nilai korupsi Rp.169.7 miliar. Curian Manisih sama artinya dengan mencuri Rp.400 dikenai hukuman satu hari sedangkan Nurdin Halid mencuri sebesar Rp.232 juta dan dihukum satu hari juga  (kompas 26-08-2010). Perbandingan itu memang tidak ada dalam materi hukum tetapi dengan adanya perbandingan itu diharapkan bisa membuat mata kita melek dan maju menegakkan keadilan. Karena dalam kitab undang-undang negera ini, semua orang dipandang sama tidak ada yang namanya anak Negara dan atau anak buruh dan lain sebagainya.

Menanam Pluralisme Agama Menuai Kesejahteraan

“Agama di satu pihak menjadi kekuatan bagi gerakan-gerakan kemanusian, keadilan dan perdamaian, namun di pihak lain semangat keagamaan dapat menyebabkan dan melegitimasi perpecahan bahkan kekerasan” (Abdurrahman) Perbedaan dua pandangan itu merupakan implementasi dari praksis keagamaan yang terjadi di bumi Indonesia yang beragam ini. Yang sudah beberapa tahun terkungkung dalam kebingungan dalam mencari konsep keagamaan yang cocok dengan keragaman bangsa ini. Banyak kelompok yang menawarkan keagamaan alternatif yang di tujukan agar pandanagan yang mengatakan bahwa agama hanya mendatangkan kesengsaraan itu tidak terjadi lagi. Namun beberapa alternatif itu karena masih di hiasi oleh faham eksklusivisme dan egoisme, akhirnya bukan solusi kondusif yang menggelinding dimata bangsa yang multi etnis ini akan tetapi solusi licik yang dengan taming agama dan firman tuhannya mengabsahkan untuk melaksanakan konflik yang berbau SARA. Atau ada sebagian kelompok mengembangkan keagamaannya tanpa didasarkan pada dasar yang jelas. Sehingga perpecahan dan kerusuhan pun tak dapat di elakkan lagi. Komflik yang berbau agama akhir-akhir ini merupakan bukti nyata bahwa pemahaman manusia terhadap agamanya masih menggunakan kacamata kuda yang hanya membenarkan proses keagamaannya sendiri dan menilai agama lain salah dan harus di agamakan sesuai dengan kepercayaannya. Hal itulah yang terjadi di Negara kita yang paling kaya sedunia namun paling melarat juga sedunia. Sungguh sangat ironis sekali melihat kenyataan bangsa ini. Kaya tapi miskin, tanahnya paling subur dan kelautannya yang banyak menghasilkan jenis ikan namun masih mengimpor beras dan lain sebagainya. Sehingga bangsa ini sesuai dengan pepatah “ayam mati dilumbung padi”. Bukan tidak ada makanan dalam lumbung itu tapi ayamnya yang bodoh dan tidak mau menggunakan potensinya. Kondisi seperti itu terjadi karena mansuia bangsa ini yang katanya beragama, bahkan sangat fanatik terhadap agamanya. Tetapi tidak menggunakan ajaran agamanya sesuai dengan koridor yang telah di tentukan oleh agamanya yang paling hakiki dan mengabaikan ajaran agamanya yang memiliki nilai kebenaran yang universal. Mereka telah mempolitisir agamanya demi kepentingan diri dan kelompoknya dengan menafsirkan kitab-kitabnya hanya sebatas melawan wacana-wacana dari agama lainnya yang tujuannya tiada lain adalah menina bobokkan ajaran agama yang lainya. Sehingga bagi siapa yang keluar jadi pemenangnya dalam pewacanaan akan menuai keuntungan baik secara psikis dan bahkan untung secara biologis. Secara psikis, mereka merasa puas karena bisa meyakinkan kepada orang lain bahwa agamanya benar dan agama orang lain salah sehingga bagi yang disalahkan biasanya enggan untuk beragama atau pindah agama. Setelah pindah agama walaupun secara terpaksa, baru keuntungan secara biologis dicapai. Misalnya, mereka bisa melakukan perkawinan karena sudah satu agama dan lain sebagainya. Padahal dalam islam sudah jelas tidak boleh memaksa dalam beragama. Mereka sibuk dengan mengurus dan membela Tuhanya padahal Tuhan tidak perlu dibela dan Dia akan tetap eksis dalam keberadaan dan keagungan-Nya tanpa di bela manusia. Sehingga dengan kesibukan yang tidak jelas dan tidak bermanfaat itulah urusan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya untuk membangun kesejahteraan menjadi terbengkalai. Mereka telah menyalahgunakan mandat Tuhan sebagai wakil-Nya di muka bumi untuk menciptakan tatanan kehidupan yang harmonis, bukan malah mengacaukan. Oleh karena kenyataan itulah manusia Indonesia memandang agama dari dua sisi yakni menguntungkan dan menyengsarakan. Bagi orang yang memahami bahwa agama bisa membawanya pada garis kesejahteraan hidup, paling tidak ada dua kelompok. Pertama, mereka yang bisa mengambil manfaat keagamaannya karena memang mengetahui apa yang harus di lakukan. Mereka tidak kebingungan dengan realitas social keagamaan yang ada. Mereka tidak mempermasalahkan proses keagamaan agama lainnya dan menerima kebenarannya sebagai kebenaran relitas kerena agama lain juga dibenarkan oleh penganutnya. Bahkan dari kelompok inilah muncul kelompok yang sangat ekstrim dengan menyamakan tujuan dari semua agama-agama, hanya saja jalan dan caranya yang berbeda-beda. Kelompok inilah yang keluar sebagai pengendali kekacauan bangsa dengan menerapkan nilai-nilai pluralisme. Mereka tidak sibuk dengan membela Tuhan. Kedua, orang yang dengan mempolitisir wahyu tuhannya bisa mengais keuntungan yang sebesar-besarnya. Mereka menipu orang dengan pembenaran wahyu yang disalah tafsirkan. Sehingga apapun bentuk tindakannya karena salah dalam menafsirkan firman tuhannya seakan-akan benar dan diridhai oleh tuhan, meskipun perilakunya banyak menyengsarakan manusia tapi tetap dibenarkan karena kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat kitab sucinya. Sehingga tak jarang orang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan. Mereka dalam menafsirkan wahyu hanya mengacu pada teks saja sedangkan hal yang terkandung di dalamnya dan akar sejarahnya terus di abaikan. Kelompok inilah yang sering menimbulkan kericuhan dan kerusuhan. Mereka angkuh dengan kepercayaannya dengan menganggap bahwa agama yang paling asli, benar dan datang dari Tuhan hanyalah agamanya sendiri sehingga agama yang tidak berasal dari Tuhan dianggap tidak otentik dan sesat. Dalam bukunya Nur Khalik Ridwan yang berjudul Detik-Detik Pembongkaran Agama dalam pendahuluannya dituliskan bahwa Keangkuhan seperti itulah yang selalu mewarnai pemaknaan keagamaan mereka, sehingga kebenaran orang lain diukur dengan kebenaran mereka padahal orang lain juga mempunyai ukuran-ukuran tertentu untuk mengukur kebenaran. Mereka tidak sadar bahwa ukuran kebenarannya hanya merupakan hasil kreasi dan ijtihadnya yang apabila diterapkan pada orang lain dan atau ditempat lain belum tentu dapat dibenarkan juga. Karena proses pencarian kebenaran yang namanya manusia hanya menemukan kebenaran yang relatif. Setelah kekacauan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara terus terjadi akibat para kelompok yang hanya mementingkan kelompoknya itu, karena sudah tidak tahan lagi atas perlakuan mereka yang sering menindas dan melecehkan kaum minoritas atas nama agama. sehingga menimbulkan kelompok baru yang memandang agama hanya membuatnya sengsara. Biasanya agama ini merupakan agama yang kecil dan merupakan agama bumi serta tidak diakui oleh negara sebelum KH. Abdurrahman Wahid (Gudur) jadi presiden yang hanya mengakui lima agama. Mereka mulai pesimis dan nyaris tak mau beragama. Namun ketika Gusdur menjadi presiden para kaum minoritas mulai bisa menghirup udara segar dengan diturunkannya peraturan yang membolehkan praktik keagamaan yang sebelumnya dilarang dan mulai saat itulah wacana pluralisme agama ramai dibicarakan orang walaupun sebenarnya pluralisme itu telah lama masuk di Negara ini. Akan tetapi yang mulai gencar didiskusikan dan dibicarakan oleh banyak kalangan mulai munculnya tokoh pluralis Gusdur dan Nurcholis Madjid, utamanaya ketika Presiden keempat menggelindingkan aturan yang disesuaikan dengan dinamika kehidupan bangsa yang multi agama dan etnis ini. Walaupun faham pluralisme ini banyak menimbulkan kecaman dari banyak pihak utamanya bagi penganut agama yang fundamentalis dengan alasan tidak boleh mencampuradukkan agama satu dengan lainnya karena hanya akan mengaburkan dari ajaran agama itu sendiri. Bahkan Pada tanggal 29 Juli 2005 Majalis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang haramnya Paham Sipilis (sekularisme, Pluralisme Agama, Liberalisme). Saya tidak mengajak pembaca untuk membenarkan faham plural tapi hanya ingin mendatangkan bukti bagi pikiran anda bahwa dengan pemahaman inilah bangsa ini masih tetap utuh dalam kesatuan NKRI dan kelangsungan keberagamaan kaum minoritas menjadi tertolong. Yang menjadi persoalan sekarang adalah lebih bagus mana antara kelompok yang selalu membuat keonaran dan kerusuhan atas nama agama dan kelompok yang menerima agama lain sebagai agama yang benar juga baik secara relitas dan atau secara teologis. Marilah kita buka mata hati dan membayangkan nasib para kaum minoritas jika Gusdur tidak mempunyai faham plural dan tetap melarang atas praktiknya agama-agama bumi yang sebelumnya di anggap sesat dan kafir oleh sebagian penganut agama-agama langit (Islam, Kresten dan Yahudi). Pluralisme identik dengan inklusifitas keberagamaan, Karena nilai plural bisa didapatkan dengan cara membuka diri untuk membenarkan agama lain. Baik membenarkan secara realitas social atau secara teologis. Tergantung pada batasan pendefinisian tentang pluralisme. Cak Nurcholis Madjid misalanya, dalam bukunya Sukidi Mulyadi murid Cak Nur yang berjudul “Teologi Inklusif Cak Nur” menggunakan istilah teologi inklusif untuk menyebut pemikiran Cak Nur. Tapi jika dicermati dalam buku itu, ternyata Cak Nur pengembang pluralisme agama. Teologi inklusif merupakan alternatif dari teologi eksklusif yang menganggap bahwa kebenaran dan keselamatan hanya terdapat pada suatu agama, ini merupakan monopoli terhadap agama yang lainnya. Oleh karena itulah teologi inklusif menantang dan menyalahkan klaim-klaim kebenaran terhadap agamanya dan mengatakan bahwa itu merupakan teologi yang salah. Menurut Cak Nur agama Islam merupakan agama yang inklusif dan merentangkan penafsirannya kearah yang lebih pluralis. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Seperti istilah “banyak jalan menuju Roma”. Roma ibarat Tuhan sedangkan jalan-jalan menujunya merupakan jalan dari semua agama yang menuju tuhan yang sama. Kita tidak bisa menyalahkan orang yang mempunyai tujuan yang sama dengan kita tapi cara dan jalannya berbeda, karena siapa tahu orang yang kita klaim salah ternya benar ataupun sebaliknya. Dalam filsafat perenial agama dibagi pada level isoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain pada level eksoterik sedangkan pada level isoterik relatif sama. Berbeda dalam melaksanakan ritual keagamaannya namun tujuannya sama untuk menyerahkan dirinya kepada Tuhan yang sama. Schoun yang mengutip pandangan Nasr mengatakan bahwa setiap agama memiliki satu bentuk dan satu substansi. Dan substansi mempunyai hak yang tidak terbatas, karena lahir dari yang mutlak, sedangkan bentuk adalah relatif sehingga hak-haknya terbatas. Maka yang harus di perhatikan adalah masalah substansi dari berbagai agama yang tidak terbatas itu. Bukan bentuk agamanya yang sering ditafsirkan dengan salah oleh penganutnya. Sama halnya dengan pemikiran Gusdur dalam memandang agama dan kemanusian. Orang yang dikatakan beragama yang baik kalau menjunjung tinggi derajad kemanusiaan. Dan kemanusiaan yang baik juga didasarkan pada keyakinan agama yang benar. Agama dan kemanusiaan seperi dua sisi mata uang yang berbeda tapi tidak bisa dipisahkan. Tidak boleh demi agama lantas melecehkan kemanusiaan dan demi kemanusiaan mengabaikan agama. Atas dasar itulah Gusdur dalam keberagamaannya melepas formalitas agama tapi tetap pada keberagamaan yang substantif. Beliau sering keluar-masuk Gereja, Vihara dan sinagog demi membangung relasi kemanusiaan. Pluralisme Gus Dur adalah pluralisme yang melihat negeri ini sebagai sebuah rumah. Rumah dengan banyak kamar yang setiap kamar dihuni oleh sebuah agama. Demi keutuhan rumah itu, masing-masing penghuni kamar haruslah saling menghormati dan menghargai tanpa satu pihak yang merasa berhak atas kebenaran kepemilikan rumah tersebut. Dari itulah ketika jiwa kita tidak dilapisi oleh fanatisme-sempit dan membukakan hatinya untuk menerima kebenaran keberagamaan orang lain baik secara realitas social ataupun secara teologis. Maka tatanan social yang harmonis akan kita raih. Karena hanya pada kondisi seperti itulah urusan kita dengan penganut agama lain bukan lagi urusan saling klaim kebenaran tapi urusan bagaimana membangun bangsa kedepan yang makmur dan sejahtera.

Sabtu, 16 Juni 2012

Mewaspadai Money Politic

Keputusan Mahmakah Konstitusi (MK) terkait Pilwali kota Surabaya yang menetapkan pencoblosan ulang di lima kecamatan dan dua kelurahan serta penghitungan ulang di kecamatan lainnya, membuat semua tim pemenangan dari kedua kandidat (Ridho dan Cacak) yang akan mengikuti kontes menuju Surabaya satu pada tanggal 1 Agustus 2010 nanti, harus menyusun strategi yang paling ampuh untuk menggait pemilih sebanyak-banyaknya. Berbagai pendekatan terus dilakukan, dari terjun ketempat-tempat strategis seperti pasar hingga turun mengikuti pengajian. Pada kondisi seperti itu, karena hanya 5 kecamatan dan 2 kelurahan yang diharuskan melakukan coblos ulang, apapun akan dilakukan oleh kedua belah pihak untuk meraih sukses dan memimpin surabaya untuk lima tahun kedepan. Walaupun hingga saat ini masih belum ada berita tentang pelanggaran yang dilakukan masing-masing tim, tetapi tidak menutup kemungkinan praktik yang akan membuat buramnya demokrasi seperti money politic, manipulasi data dan lain sebagainya akan muncul pada hari-hari atau bahkan detik-detik sebelum pelaksanaan pemilihan ulang. Karena biasanya pada saat itulah, masing-masing kandidat mulai mengetahui rengrengan jumlah pemilihnya. Kalau dalam rengrengan itu masih menunjukkan kekalahan bagi kandidatnya, tentunya para tim pemenangang dan tim suksesnya tidak akan tinggal diam, mereka akan terus berupaya menghalau pemilih untuk mengikuti dan mencoblos kandidat yang diusungnya dengan cara apapun.

Televisi dan Masa Depan Anak

Televisi merupakan orang asing yang di terima oleh keluarga tanpa curiga. Padahal ia yang mengajari anak-akan kita membunuh, menipu, memfitnah dan lain sebagainya. Kalau dilihat dari sejarah berkembangnya industri televisi di indonesia. TV mulai berkembang sejak tahun 1962, ketika indonesia menjadi tuan rumah dalam perhelatan akbar olah raga asia yang di kemas dalam asian games IV di jakarta. Dengan maksud memberikan layanan terbaik bagi masyarakat indonesia lebih-lebih bagi negara peserta event itu. TVRI merupakan televisi pertama kali yang tayang sejak tanggal 17 agustus 1962 merupakan rangkaian dari perhelatan akbar itu. Pada awal munculnya, TV hanya terfokus pada kepentingan publik. Ia sangat berperan bagi kemajuan bangsa dan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kemajuan berfikir masyarakat. Akan tetapi pada tahap selanjutnya media itu menjadi ajang bisnis yang hanya menguntungkan segelintir orang. Tak heran tayangannya untuk beberapa dasawarsa terakhir ini, tidak memperhatikan nilai dan norma yang ada di masyarakat. Karena para pengurus media itu, hanya melihat dan menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Tapi walaupun begitu, masih banyak manfaat yang ia bawa jika para pemirsa bisa menyeleksi informasi yang di perolehnya. TV bukanlah pesulap yang bisa merubah keadaan dengan hanya berkata “bim salabim, jadi!”. Tetapi TV telah mampu merubah keadaan besar, hanya dalam hitungan detik. Salah satu contoh perubahan yang di tengarai karena TV adalah tren anak muda desa yang telah bisa menggunakan celana pensil, yang sebelumnya merupakan trennya pemuda metrolitan. Mereka (pemuda desa) juga bangga dengan tren seperti itu, Bahkan mereka akan mengatakan katrok bagi temannya yang tidak menggunakan celana potangan seperti itu. Padahal sebelumnya, mereka menganggap bahwa tren itu sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai orang desa dan juga nilai agama. Mereka telah disulap oleh TV walau tidak menggunakan “bim salambim, jadi!”. Tentunya perubahan seperti itu tidak seratus persen merupakan pengaruh media TV, tetapi menurut saya, TV merupakan penyuplai terbesar bagi perubahan-perubahan seperti itu. Ia telah mampu membawa peradaban indonesia keluar dari peradaban klasik dari waktu ke waktu. Corak kehidupan yang mewarnai bangsa ini pun semakin kompleks. Berbagai masalah muncul silih berganti dengan beraneka ragam jenisnya. KDRT, pembunuhan, bunuh duri, dan lain sebagainya merupakan masalah yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Tentunya, masalah itu terjadi karena banyak motifnya, dari kecemburuan sampai ekonomi. Tetapi yang tidak dasadari oleh kebanyakan orang faktor konstruk yang dibangun oleh televisi yang setiap saat menyajiakan aneka warna kehidupan. Ada banyak program TV yang menyajikan kekerasan psikis maupun fisik, sehingga karakter tokoh yang ada telah mampu merubah karakter pemirsa tanpa ia merasa bahwa dirinya telah ada pada karakter yang berbeda. Itulah kelihaian TV dalam melakukan perubahan di masyarakat tanpa kita sadari bahwa mindset kita telah dirubah. Tak heran jika di Amerika ada penelitian yang dilakukan oleh harian Lost Angeles Times, menunjukkan bahwa empat dari lima orang Amerika, menganggap bahwa kekerasan di televisi mirip dengan dunia nyata. Itu bukan berarti, dunia nyata yang mempengaruhi tayangan televisi tetapi sebaliknya. Iklan yang ditayangkan televisi telah membuat masyarakat Indonesia menjadi konsumtif. Program smack down yang sempat menjadi kontrversial beberapa waktu lalu dan akhirnya ditutup, itu karena berdampak negatif bagi pemirsa utamanya anak-anak dan kaum remaja yang tidak bisa menyaring informasi yang mereka dapat. Bahkan menurut kriteria yang diluncurkan oleh YKAI, tontonan bagi anak-anak seperti kartun jepang “Doraimon dan Crayon Shinchan” masuk pada tontonan yang harus diwaspadai dan dihindari. Kartun doraimon harus diwaspadai karena terdapat adegan kekerasan secara fisik dan psikis. Selain itu tokoh utana dalam kartun itu “Nobita” merupakan tokoh yang berkarakter bodoh, pemalas, egois, dan suka tidur. Sedangkan Crayon Shinchan merupakan serial yang harus dihindari karena dalam serial itu, selain ada kekerasan secara fisik dan psikis juga tedapat adegan seksual dan pelecehan terhadap kaum wanita. Dan tokoh sinchan tidak patut untuk dijadikan panotan dalam serial itu, karena ia dalam memanggil ibunya tidak dengan sebutan ibu, tetapi memanggil dengan namanya saja. Selain dua tontonan itu, masih banyak lagi (kalao tidak mau dikatakan hampir semua) tontonan yang sangat tidak mendidik, seperti sinetron yang banyak menampilkan kehidupan glamor, sadisme, pornografi dan mistik. Sungguh mengkhawatirkan tayangan seperti itu bagi masa depan anak. Namun bagi para orang tua tidaklah perlu cemas dengan kenyataan seperti itu. Karena anak-anak kita sesungguhnya bisa diarahkan pada jalan yang benar sejauh kita bisa dan menyadari perlunya pendampingan yang intens terhadap anak. Karena kalau tidak dengan demikian, maka pada ahirnya kekerasan di TV akan membuat anak menganggap kekerasan adalah jalan untuk menyelesaikan masalah (era muslim, 27-07-2004). Tak heran jika kita sesekali melihat berita dari TV, anak membunuh orang tuanya. Itu semua tidak akan terjadi kalau ada kesadaran dari orang tua, karena kesadaran anak bisa dibangun oleh orang tua. Akan tetapai yang saya lebih khawatirkan adalah kebanyakan orang tua tidak menyadari akan tipu daya tayangan TV. Terkadang mereka sama-sama menikmati tayangan berbahaya seperti the master dan lain sebagainya, tanpa mendiskusikan hal-hal positif dan negatifnya. Sebenarnya pada sisi pokok kiri atau kanan atas dari layar TV kita tertulis BO (bimbingan orang tua). Namun kebanyakan dari kita tidak menghirruakan tulisan itu karena terlalu asiknya nonton. Kalau orang tua terus menerus seperti itu apa yang akan terjadi pada masa depan anak? TV merupakan orang asing yang telah diterima oleh kita, ia mengajari anak-anak kita sesuai dengan keinginannya tanpa ada kontrol dari kita. Coba bayangkan, ketika kita pulang dan menemui anak-anak kita, duduk bersama orang yang tidak kita kenal sama sekali dan orang itu mengajari anak kita menampar, menggunjing, membunh dan lain sebagainya. Apakah kita tidak akan marah dan mengusirnya? Televisi juga seperti itu mengajari banyak kejelekan namun kita tidak menyaadari. Saya tidak akan menyuruh para orang tua untuk menjual televisinya tetapi akan mengajak untuk menjaga anak-anak kita agar tidak nonton tayangan yang tidak bermanfaat. Sebagai orang tua, harus bisa memberi batasan waktu nonton, kapan boleh dan kapan harus berhenti nonton. Cobalah membuat kesapakatan bersama dalam menentukan batasan-batasan itu. Orang tua harus bisa menstimulus anak agar kreatif dan ajaklah mereka melakukan dialog tentang acara televisi yang ditontonnya. Selain itu orang tua juga harus bisa memberikan permainan yang lain agar anak tidak kecanduan pada TV.

Kemerdekaan Seterusnya

Kemerdekaan adalah dambaan semua orang. Hanya orang orang-orang yang tidak mempunyai harapan hiduplah yang yang tidak menginginkan yang namanya kemerdekaan. banyak orang bahkan para pakar bilang bahwa kebutuhan dasar manusia adalah sandang, papan dan pangan, akan tetapi kalau ditelisik lebih dalam maka sebenarnya adalah kebutuhan yang paling mendasar adalah kebutuhan untuk meraih kehidupan tanpa tekanan dari pihak manapun (merdeka). Banyak orang tidak makan beberapa hari tapi masih bisa hidup, tetapi orang tidak akan bisa hidup sedetikpun jika mereka tidak mempunyai kemerdekaan karena sesungguhnya ruh kemerdekaan adalah sebuah pengaharapan untuk hidup lebih sempurna. Itulah harapan kebanyakan orang yang tentunya juga dimiliki oleh penulis. Beberapa tahun hidup tak pernah merasakan yang namanya kemerdekaan. Waktu masih sekolah dasar hingga ke SMA, semuanya dipilihkan oleh orang tua. Tak ada salahnya memang, karena orang tua akan memberikan sekolah yang terbaik bagi anak-anaknya. Hal itu tak mengapa terjadi karena saya masih berlabel siswa. Tetapi pada saat ini, saya sudah menyandang yang namanya mahasiswa. Seharusnya segala kehidupan yang ideal kini mulai dilaksanakan. Dari menentukan diri tujuan diri sendiri sampai menentukan organisai. Akan tetapi tak semua yang aku idealkan berjalan lancar. Di oraganisai yang aku ideal sebagai wadah penggodokan nalar kritis yang tidak memandang status tua muda, jika salah ya tetap disalahkan dan jika benar tetap dibenarkan tanpa melihat siapa yang memberikan komentar tetapi melihat isi dari komentar itu sendiri. namun yang terjadi pada akhirnya, yang mudah tetap harus menyesuaikan dengan keinginan para seniornya. Tak ada perbedaan antara waktu menjadi siswa dan mahasiswa. Bahkan bagi kebanyakan orang hidup ditentukan orang lain yang tidak ada ikatan persaudaraan sama sekali akan menambah dulka lara yang berkepnjangan. Karena penentuan oleh orang lain cenderung memikirkan eksistensi dirinya sendiri tetapi kalau ditentukan orang, biasanya orang tua mempunyai niatan baik untuk perkembangan anak selanjutnya.

Kebijakan yang Tak Pernah Bijak; Sekolah Bertaraf Internasional VS Pendidikan Karakter

Pendidikan merupakan salah satu penentu bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan. Karena dengan pendidikanlah manusia bisa mengetahui apa-apa yang harus dilakukan dan apa-apa saja yang harus ditinggalkan. Oleh karena itulah desain pendidikan harus terus diupayakan kearah yang lebih baik, yaitu desain pendidikan yang mampu menjawab tantangan zaman tanpa harus tergerus oleh kemunafikan zaman. Tentunya pendidikan disini tidak hanya terpaku pada pendidikan formal tetapi juga berlaku pada pendidikan non formal dan informal. Sebagaimana tripusat pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara; keluarga, masyarakat dan sekolah adalah pusat pendidikan bagi umat manusia baik secara langsung maupun tidak. Tiga pusat pendidikan itulah yang telah terbukti bisa mencetak perkembangan manusia baik mencetak kearah yang lebih baik ataupun kearah kehancuran moral. Tetapi karena yang menjadi sorotan publik akhir-akhir ini adalah pendidikan formal, maka tulisan ini akan difokuskan pada kebijakan-kebijakan pendidikan formal yang terus dibenahi guna menjawab tantangan global yang dirasa menggelitik hati penulis. Banyak orang mengakatan, bahkan ini memang kenyataan di Indonesia tercinta ini, bahwa setiap ada pergantian menteri pendidikan, pasti banyak pula perubahan kebijakan. Tentunya kita harus berfikir positif akan perubahan itu. Barang kali, semua perubahan itu memang diniatkan baik untuk bangsa ini. Dan saya yakin, bahwa hal itu memang dibuat agar bangsa Indonesia ini bisa berdaya saing global hingga akhirnya manusia Indonesia bisa diperhitungkan oleh dunia. Hanya saja dari setumpuk kebijakan itu banyak kebijakan yang tumpang tindih antara kebijakan satu dengan lainnya bahkan tak jarang ada yang melanggar undang-undang Negara kita. Pengembangan pendidikan menuju pendidikan bertaraf internasional (RSBI dan SBI) yang sudah diartikan secara sempit dengan hanya sebatas penggunaan bahasa inggris dipengantar pelajarannya. Sehingga yang dikatakan sekolah bertaraf internasional adalah sekolah yang bahasa pengantar pelajarannya menggunakan bahasa inggris. Sudah barang tentu itu semua melanggar pasal 33 undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan pasal 29 undang-undang nomor 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa dan lambang Negara serta lagu kebangsaan. Ini salah satu bukti dari sekian kebijakan yang menabrak kebijakan lainnya. Sebenarnya penggunaan bahasa asing yang dijadikan pengantar pendidikan juga diatur dalam undang-undang pendidikan yaitu pasal 33 ayat 3 undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang berbunyi “Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.” Tentunya tujuan penggunaan bahasa asing disini adalah hanya sekedar meningkatkan kemampuan bahasa asing siswanya dan tidak sampai mereduksi bahasa Indonesia yang merupakan salah satu pembentuk karakter bangsa Indonesia. Akan tetapi yang terjadi pada dunia pendidikan kita saat ini khususnya di sekolah-sekolah yang berlabel internasional. Mereka para siswa dicetak agar melupakan bahasa ibunya karena kadung terkonstruk dibenaknya bahwa bahasa Indonesia adalah lambang ketidakmajuan. Inilah yang pada akhirnya bahasa asing akan mereduksi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dengan keadaan yang seperti itu, saya tidak yakin bahwa bahasa Indonesia akan terus dipakai sebagai bahasa persatuan bangsa ini. Sudah banyak bukti yang bisa membenarkan terawangan pesimis saya itu. Salah satunya adalah hasil ujian nasional untuk bahasa Indonesia yang sangat mengernyitkan dahi kita beberapa tahun terakhir ini. Banyak siswa Indonesia yang tidak lulus di bahasa Indonesianya padahal bahasa itu merupakan bahasa persatuan bangsa yang seharusnya sudah dapat dipahami sampai keakar-akarnya. Mereka yang tidak lulus ujian nasional di pelajaran Indonesia semua sekolahnya masih menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar pelajarannya. Tentunya mereka masih mempunyai kebanggaan walaupun sedikit terhadap bahasa Indonesia. Dengan demikian yang menjadi pertanyaan besar adalah Mereka saja yang mempunyai kebanggaan tidak lulus bagaimana dengan orang yang tidak mempunyai kebanggaan sama sekali terhadap bahasa persatuan kita? Sudah menjadi kepercayaan pada diri saya bahwa untuk mengerti dan memahami segala sesuatu, kita harus cinta terlebih dahulu dan perasaan cinta itu akan muncul setelah kita bangga terlebih dahulu. Pemahaman sempit terhadap sekolah bertaraf internasional seperti di atas telah dan akan membuat siswanya kehilangan rasa bangga terhadap bahasa Indonesia. Para pemegang kebijakan tidak pernah berfikir bahwa sesungguhnya sekolah bertaraf internasional saat ini sama halnya dengan sekolah asing yang hanya menumpang tempat di Indonesia. Kalau menurut saya, sekolah bertaraf internasional adalah sekolah yang daya saingnya internasional bukan hanya bahasanya yang menggunakan bahasa internasional. Dalam hal ini adalah sekolah lokal tapi berdaya saing interlokal (baca: internasional). Apakah kita tidak mengenal Jepang? Saya yakin kita semua mengenalnya. Disana sekolahnya dapat dikatakan bisa bersaing secara internasional padahal bahasa pengantarnya adalah bahasa ibunya yakni Jepang. Dan apakah kita tidak bisa berkaca pada Malaysia yang telah gagal menerapkan sekolah bertaraf internasionalnya? Kalau hanya ingin menguasai bahasa asing, banyak sudah orang bisa menguasi bahasa asing walaupun mereka ketika sekolah, bahasa pengantarnya tidak menggunakan bahasa asing. Sampai kapan kita hanya terpaku pada kondisi pendidikan yang hanya mengumbar janji ini? Sangat ironis sekali melihat kebijakan demi kebijakan yang diluncurkan di negeri ini khususnya di dunia pendidikan karena banyak kebijakan yang saling bertentangan. Pengembangan sekolah menjadi sekolah bertaraf internasional yang saat ini telah diartikan sempit yang identik dengan bahasa asing telah berseberangan dengan isu penerapan pendidikan karakter. Sudah disebutkan diatas bahwa salah satu pembentuk karakter bangsa adalah bahasa. Oleh karena itu, kebijakan yang dilansir oleh pemegang kuasa pendidikan di negeri ini sungguh tak pernah bijak karena sering berbenturan dengan kententuan lainnya.

Jalan Muhammad Jadi Nabi

Nabi Muhammad merupakan pamungkas dari para nabi yang diutus oleh Allah SWT di muka bumi ini. Walau nabi muhammad SAW terutus paling akhir, tapi sebenarnya nur Muhammad ada sebelum nabi adam. Ini terbukti ketika nabi adam diusir dari surga karena melanggar perintah Allah untuk tidak memakan buah Khuldi. Ketika keluar dari pintu surga, adam berjalan mundur sesampai di depan pintu surga, adam melihat tulisan Muhammad. ini menunjukkan bahwa Muhammad merupakan nabinya para Nabi. Menurut silsilahnya, nabi Muhammad berhubungan langsung dengan jawara tauhid melalui anaknya nabi Ismail AS. Nabi dilahirkan dari rahim yang suci yang terpelihara dari menyekutukan tuhan yakni Siti Aminah pada tanggal 12 rabiul awwal 570 M. pada tahun itu terkenal dengan tahun gajah karena pada waktu ia lahir kedunia ini, Abrahah dengan pasukannya yang menunggangi gajah datang ke makkah untuk menghancurkan ka’bah. Akan tetapi karena pada waktu itu, sang bintang dunia dan penerang dari kegelapan dilahirkan, sebagai bentuk penghormatan kepada kelahirannya, maka Allah menurunkan burung ababil untuk menumpas pasukan bergajah abrahah hinggga akhirnya kabilah tersebut gagal untuk menghancurkan ka’bah. Ayahnya bernama Abdullah. Ia berprofesi sebagai pedagang. Pada usia 2 bulan Rasul berada didalam kandungan Ibunya, Tiba-tiba ayahnya meninggal dalam perjalanan dagang dan di kuburkan di desa Abwa’. Berita itu disampaikan oleh rombongan pedagang ayahnya nabi Muhammad. Setelah mendengar berita itu, Siti Aminah menangis karena tak tahan menahan sedih. Suatu malam Siti Aminah bermimpi didatangi oleh seorang perempuan. Perempuan itu berpesan kepada Aminah agar menjaga sebaik-baiknya janin yang ada di rahimnya, karena kelak akan akan menjadi manusia yang paling mulia. Perempuan yang datang dalam mimpinya Aminah sebanyak dua kali itu adalah ibunda Nabi Isa AS. Kemudian Aminah sedih bercampur gembira. Gembira karena anaknya akan menjadi manusia yang paling mulia, dan sedih karena ia takut tidak bisa menjaganya. Setelah lahir, tak lama Aminah menyusui Nabi, kemudian menyuruh Halimatus Sa’diyah untuk menyusuinya karena pada waktu itu Aminah tidak bisa lagi menyusui. Selama dua tahun nabi disusuinya, walau keberatan akhirnya Nabi dikembalikan ke Aminah. Pada usia 6 tahun, Nabi diajak ibunya ke Yatsrib (Madinah) untuk mengunjungi keluarganya serta mengunjungi makam ayahnya. Namun dalam perjalanan pulang, ibunya jatuh sakit. Setelah beberapa hari, Aminah meninggal dunia di Abwa' yang terletak tidak jauh dari Yatsrib, dan dikuburkan di sana. Kemudian Nabi diasuh oleh kakeknya, 'Abd al-Muththalib. Setelah kakeknya meninggal, ia diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Ketika inilah ia diminta menggembala kambing-kambingnya disekitar Mekkah dan pada usianya yang kesembilan tahun, ia kerap menemani pamannya dalam urusan dagangnya ke negeri Syam. Di negeri inilah tepatnya di kota Bushra, Muhammad di takwil oleh pendeta Yahudi yang bernama Bahira. Ia mengatakan kepada Abu Thalib bahwasanya Muhammad kelak akan menjadi Nabi. Nabi Muhammad mulai ikut berperang bersama pamannya pada usia 14 tahun dalam peperangan Fijar. Kemudian dari berdagang bersama pamannya sampai ikut perang, kejujuran Muhammad mulai terungkap hingga akhirnya didengar oleh banyak orang yang tak luput juga didengar oleh Khadijah. Kemudian Nabi dimintanya untuk menjajakan dagangannya dengan upah yang banyak. Mulai saat bergabungnya Nabi Muhammad itulah dagangan Khadijah semakin tumbuh pesat dengan keuntungan yang banyak. Oleh karena kejujuran Nabi itulah akhirnya Khadijah terpikat hatinya dan kemudian diminta untuk menjadi suaminya. Pada usia 25 tahun nabi Muhammad menikah dengan Khadijah yang berumur 40 tahun. Gelar Al-Amin muali disandangnya sejak nabi Muhammad belum diangkat menjadi Rasul. Ia selalu Muhammad selalu menjunkkan kebijaksaannya dalam hidup baik berurusan dengan keluarganya sendiri atau dengan kaum Quraisy. Pada usianya yang ke 35 tahun, Nabi sebagai pelerai kecamuk pertikaian yang terjadi akibat tarik ulur peletakan Hajar Azwad. Pada tahun 608 M. Nabi mendapat irshashat yang menandakan bahwa Muhammad akan diangkat menjadi Rasul. Pada usianya yang ke-40 tahun, irshashat benar-benar terjadi ketika nabi bertahanus di Gua Hira’. Disanalah ia didatangi oleh malaikat Jibril dan menyampaikan wahyu yang pertama surat Al-Alaq. Iqra’ kata Jibril, Maa ana biqaari’ (saya tidak bisa membaca) jawab Muhammad. hal itu terulang sebanyak tiga kali. Kemudian nabi gemetar seraya menggigil ketakutan hingga akhirnya pulang ke rumahnya, dan Khadijah kebingungan melihat nabi yang pucat itu. Lama ditunggu wahyu berikutnya oleh nabi namun tak kunjung tiba. Baru setelah mencapai dua tahun enam bulan dari turunnya wahyu yang pertama itu, wahyu yang kedua yakni Surat Al-Muddatstsir turun ketika nabi berjalan. Wahyu ini menyeru Nabi Muhammad agar menyebarkan agama islam secara terang-terangan.

Haji dan Keajaiban Tuhan

Ibadah haji merupakan ibadah yang tak semua orang bisa melakukannya. Selain mampu secara financial juga harus mampu secara fisik dan psikisnya. Adanya banyak kejadian yang terjadi pada jemaah haji ketika berada di mekah, seperti kejadian aneh yang menimpa orang yang pada waktu berangkatnya sakit, namun ketika di mekah mereka sehat bahkan lebih kuat dari orang yang pada berangkatnya tergolong kuat dan sehat. Menurut ahli, hal itu wajar terjadi pada jemaah haji yang datang dari belahan dunia yang secara geografisnya berbeda dengan arab. Mungkin karena perbedaan suhu dan lain sebagainya, sehingga kondisi tubuh dan daya imunitasnya menurun. Mereka harus bisa beradaptasi dengan cepat, karena jika tidak, maka mereka akan jatuh sakit dan lain sebaginya. Begitu juga dengan kondisi psikologisnya, mereka harus bisa menata jiwanya dengan menyiapkan mentalnya, sehingga ketika mereka berkumpul dengan orang yang tidak ia kenal, karena memiliki jiwa yang kuat, mereka bisa cepat akrab dan bisa berkomunikasi dengan baik. Orang tidak memiliki keberanian dan mentalnya menurun maka ketika melakukan rentetan ibadah hajinya akan terhambat. Namun, selain dari kondisi riil seperti di atas, banyak kejadian yang menimpah jemaah haji yang berada di luar pikiran manusia. Seperti, mereka yang pada waktu berangkatanya sakit, menurut dokter harus banyak istirahat dan lain sebagainya. Dengan keberaniannya dan keteguhan hatinya, terkadang mereka tidak menghiraukan saran dokter. Tapi ketika berangkat hingga pulangnya, banyak mereka yang sehat dan tidak terjadi apa-apa. Itulah yang menurut saya kejadian aneh tapi pasti dan jelas. Bagi para calon jemaah haji selanjutnya, jangan khawatir untuk melakukan ibadah haji. Bagi mereka yang sakit-sakitan, jangan takut tidak kuat melakukan ibdah itu, karena Allah pasti akan menolong orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk melakukan ibadah pada-Nya. Kekuatan Allah tidak bisa dipikirkan oleh manusia. Sudah banyak kejadian aneh seperti yang ditrerangkan diatas, siapkan modal berupa uang untuk bekal pulang perginya dan mental kita yang harus ditata sedemikian rupa sehingga tidak mender hanya karena alasan yang sepeleh. Mari niatkan dalam diri kita untuk melakukan ibadah haji.

Menyikapi Peperangan Identitas

Indonesia merupakan negeri yang kaya akan kebudayaan dan memiliki banyak aliran kepercayaan. Semua penganut dari sekian banyak aliran itu pasti menganggap alirannya sendiri yang paling benar. Namun karena kehidupan warga negara indonesia harus hidup berdampingan dengan aliran lainya, maka menuntut pemahaman dan sikap untuk saling menghargai satu dengan lainnya. Jadi meskipun menganggap diri dan alirannya yang paling benar, tidak menutup diri untuk saling menghormati demi tegaknya persatuan dan kesatuan bangsa ini. Oleh karena itulah bangsa ini menggunakan dasar yang mampu mengakomodasi kepentingan dari seluruh rakyat yakni Pancasila. Kita patut bersyukur bisa hidup di negeri pancasila ini, karena kita tidak perlu khawatir kepada pemimpin kita baik dari golongan sendiri atau golongan lain sudah mesti berkerja untuk kepentingan seluruh rakyatnya. Coba bayangkan sebuah negara yang mempunyai dasar negara yang hanya berasal dari suatu aliran tertentu. Sudah barang tentu aliran yang lainnya merasa cemas karena sudah pasti akan dianak-tirikan atau bahkan dianggap tiada. Sungguh miris kalau kita harus hidup di tempat yang hanya mementingkan golonngan tertentu. Namun pertanyaannya sekarang sekarang. Sudahkah para pemimpin kita berdiri tegak diatas kepentingan semua golongan? Untuk menjawab pertanyaan itu sangatlah tidak sulit untuk mengatakan “tidak”. Pemimpin kita saat ini sudah berdiri menyuarakan kepentingan kelompoknya masing-masing. Mereka sudah mulai lupa akan amanah pancasila yang seharusnya berjuang demi bangsa bukan golongan. Para pemimpin dan bahkan calon pemimpin kita sudah bukan atas nama bangsa lagi tetapi atas nama golongan mereka maju menjadi pemimpin bangsa yang pada gilirannya mereka akan bekerja hanya untuk kepentingan diri dan golongannya.

Afiliados

Label 3

Footer Widget 1

Footer Widget 3

Trending Template

Pages

Popular Template

Recent Post

Blogger Themes

Label 6

Comments

Label 5

Label 4

Label 1

hh

Label 2

Laman

Advertisement (468 x 60px )

Footer Widget 2

TERJEMAH

Search

Mengenai Saya

Foto saya
Sumenep, Jawa Timur, Indonesia
Dapur Ilmiah (DI) merupakan blog yang secara konsisten menayangkan berbagai penelitian ilmiah. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Salam DI.